Senin, 30 Mei 2011

Slamet Iman Santoso (1907-2004) Bapak Psikologi Indonesia


Profesor emeritus Fakultas Psikologi UI yang meninggal dalam usia 97 tahun, Selasa 9 November 2004 dini hari pukul 00.30, ini tidak saja perintis dan pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tetapi juga perintis studi psikologi di Indonesia. Patutlah dia digelari Bapak Psikologi Indonesia. Psikiater kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907, ini juga ikut mendirikan beberapa universitas.

Pria yang senang berpakaian putih-putih ini dikenal jujur, jernih, tegas dan konsisten. Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Penerima Bintang Mahaputra Utama III (1973) ini, menurut puteranya Dr Oerip Setiono, meninggal setelah tiga tahun terakhir terbaring di rumah kediamannya, Jl Cimandiri 26, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan di TPU Menteng Pulo setelah sebelumnya disemayamkan di aula FKUI Salemba, Jakarta.

Dia meninggalkan tujuh anak, 13 cucu dan delapan buyut. Isterinya, Suprapti Sutejo, sudah terlebih dahulu meninggal pada November 1983. Penerima penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional dari IKIP Jakarta (UNJ) pada tahun 1978, ini selain sebagai perintis dan pendiri Fakultas Psikologi UI juga ikut mendirikan Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin.


Motivasi mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938), ini merintis dan mendirikan fakultas psikologi, karena sebagai psikiater menemukan banyak masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh psikiater. Dalam bidang profesi kedokteran, dia menerima penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989. Sebagai seorang ahli psikologi, tahun 1961, dia memimpin sekitar lima puluh mahasiswa Fakultas Psikologi UI, mengunjungi penduduk yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan dan dipindahkan ke daerah Tebet dan Penjaringan. Mereka berdialog dengan penduduk tergusur itu. Kunjungan ini, menjadi awal pogram mahasiswa turun ke lapangan (masyarakat).

Bidang studi psikologi pun makin menarik perhatian banyak orang. Masa-masa psikologi mengalami kesulitan (saat psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), seperti sudah terlupakan. Saat itu, kata Slamet dalam pidato ketika menerima penghargaan bintang jasa Mahaputra Utama III (1973), dia merasa ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini.


Conny Semiawan, mantan rektor IKIP Jakarta yang juga murid dan sempat menjadi asisten Slamet Iman dalam menguji mahasiswa, mengenang Slamet sebagai orang yang sangat tertib, teliti dan juga memiliki wawasan yang sangat luas, selalu berfikir filosofis meskipun bukan ahli filsafat. Dalam menguji mahasiswa, Slamet selalu menegaskan jangan menanyakan apa yang kamu ketahui, tetapi usahakan untuk bertanya apa yang dipahami mahasiswa. Dengan demikian dialog akan terjadi dan mahasiswa dapat mengaktualisasikan dirinya.Menurut Conny Semiawan, Slamet adalah tokoh pendidikan yang berani.

Dia adalah orang pertama mengusulkan perlunya satu standar bagi semua jenjang pendidikan di Indonesia. Usul yang dia lontarkan sepanjang tahun 1979-1981 ini membuat heboh dunia pendidikan. Dia juga orang yang mengkritik keras minimnya gaji guru yang dia sebut dapat merusak dunia pendidikan. Dia membandingkan gaji guru jaman Belanda yang dua kali lipat daripada gaji dokter. Sehingga guru tak perlu mencari tambahan dan dunia pendidikan tidak dicampurbaurkan dengan bisnis.Dia juga mempunyai andil besar dalam merintis program penerimaan mahasiswa melalui UMPTN.


Ketika itu (1979-1980), Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Saat itu terjadi booming lulusan SMA yang ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sebagai contoh, UI yang kapasitasnya sekitar 800 mahasiswa tapi jumlah pendaftar 4000 orang. Maka melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu sistempenerimaan calon mahasiswa yang sejak 1979 sudah berlangsung dengan nama yang sekian kali berubah mulai dari Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pria yang dikenal terus terang dan sempat menjadi Penjabat Rektor UI, ini meskipun sudah mengakhiri jabatan sebagai Ketua Komisi Pembaruan Sistem Pendidikan, 1980, ia masih sempat mengurusi penerimaan calon mahasiswa pada tahun 1981.

Sudah sangat banyak tokoh pendidikan bekas murid Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1950-1953) serta mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini. Di antaranya, Conny Semiawan, Fuad Hassan, Sujudi, Wardiman Djojonegoro, Mahar Mardjono dan Saparinah Sadli. Para mantan mahasiswanya ini sangat menghormati dan mengagumi gurunya ini. Mereka mengenangnya sebagai guru yang sangat akrab dan suka menularkan pengalaman. Salah satu ucapannya dalam acara peringatan 100 tahun Albert Einstein di ruang Rektorat UI, 1979: ”Ciri orang pandai, hal yang ruwet bisa disederhanakan, sebaliknya orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana.

” Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968-1973), ini juga penulis terkemuka. Dia sering menulis kolom di berbagai media dan juga menulis buku. Di antara bukunya yang terkenal adalah Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in Indonesia; Psychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan; dan Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, 1987.


Sebagai dokter ahli penyakit saraf dan jiwa, dia memasang iklan menutup praktek untuk selamanya, 1 Januari 1979. Dia menyadari dirinya sudah tua. Dia pun mengaku sudah capek. Lahir TerbungkusPemberian namanya, Slamet Iman santoso, terkait dengan proses kelahirannya. Dia dilahirkan dalam keadaan terbungkus ari-ari. Ketika itu, semua penduduk desa heran dan membicarakannya. Dia dianggap sebagai bayi ajaib. Dipercaya bayi yang lahir terbungkus ari-ari itu kelak akan mempunyai kelebihan. Sangat jarang kelahiran bayi terbungkus.Saat bayi terbungkus itu lahir, orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya: “Mana bayinya, mana bayinya?” Untunglah tidak semua penduduk desa panic terheran-heran.

Seorang tetangga, Nyonya Tambi, isteri seorang petani Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang membungkusnya. Bayi itupun menangis dan lahir dengan selamat. Maka kata selamat (menjadi Slamet) dijadikan nama jabang bayi yang baru lahir itu. Dia memang terlahir dari keluarga berpendidikan pada zamannya. Ayahnya seorang Asisten Wedana Banjaran. Di bawah pengasuhan ayahnya, Slamet menikmati masa kecilnya dengan penanaman nilai-nilai keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong. Dia pun berulangkali, kepada banyak orang, mengisahkan berbagai pengalaman masa kecil yang yang amat berkesan baginya. Salah satu pengalaman itu adalah ketika di suatu saat dia dan anak lain sedang sibuk mencari ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya.

Eh, tiba-tiba Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi. Namun dia beruntung, karena anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga dia tertolong. Dia dan kawan-kawanya menceriterakan peristiwa itu kepada Ayah-Ibu Slamet. Sang Ayah dengan spontan mengharuskannya memberi makan si Macan (nama anjing tadi Pak Lurah) itu. Masa kecil dan remaja anak sulung dari dua bersaudara ini sangat bahagia. Ia ikut kakeknya di Magelang, Jawa Tengah.

Saking nakalnya, dia dijuluki teman-temannya ‘setan alas’. ”Saya senang main ketapel, berburu anjing dan burung,” katanya, sebagaimana dikutip dalam Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Bahkan mengaku sekali-kali mengganggu orang. Namun masa kecil dan remajanya diisi dengan mengecap pendidikan pada jaman kolonial Belanda di Magelang, mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsche School (HIS (1912-1920) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO (1920-1923). Kemudian melanjut ke MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); dan Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934).

Dia pun terkesan sangat mengagungkan pendidikan masa kolonial Belanda itu. Walaupun dia menyadari kondisi pendidikan ketika itu sangat berbeda disbanding setelah Indonesia merdeka. Dia mengenang, pada zamannya bersekolah dulu, sangat diasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan murid dan bersatu dengan orang tua murid. Hal yang sudah jarang terjadi saat ini. Masuknya Jepang, menurutnya, memberi andil atas awut-awutannya pendidikan di negeri ini.

Terasa sekali suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrabnya hubungan orang tua-murid-guru, tiba-tiba hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang yang mulai awut-awutan. Ironisnya, kondisi ini terus berlangsung sampai sekarang. Dia memberi beberapa bukti. Di antaranya, sekarang ada guru yang mengasih tahu bahan ujian yang akan diuji kepada murid.AbumawasProfesor emeritus Fakultas Psikologi UI ini juga dikenal sebagi tokoh yang jahil dan sering dinilai aneh. Dia sendiri mengibaratkan diri sebagai Abunawas. Karena, menurutnya, Abunawas itu tokoh penuh akal. Jiwa Abunawas itu pun banyak menyemangati hidupnya.

Dalam buku, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, diceritakan sekali waktu dia melihat mobil seorang pejabat UI diparkir salah dengan posisi miring di halaman kampus UI. Ia mengambil kertas dan menulisnya dengan spidol: “Barangsiapa yang parkir mobil miring, otaknya juga miring”. Ketika Bung Karno menanyakan pendapatnya mengenai semboyan “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”, Slamet dengan tenang menjawab “Nggak, malah saya gantungkan di cantelan baju. Kalau usang kan bisa diganti.

”Suatu ketika, dia menyatakan terheran-heran karena ada orang yang dipinjami buku, mengembalikan buku itu dengan utuh. “Baru sekarang saya temukan orang yang saya pinjami buku mengembalikannya dengan utuh,” katanya. Dia bilang, hanya orang bodoh yang meminjamkan buku kepada orang lain, dan orang yang mengembalikan buku pinjaman pun adalah orang gila.Hidupnya yang selalu ceria diwarnai canda memberi andil besar atas usianya yang lanjut (97 tahun). Padahal dia tak senang olah raga, termasuk olah raga pagi. Becanda, dia bilang: ”Pagi-pagi itu ‘kan hawanya segar. Kok dipakai buat berkeringat, lebih baik dipakai untuk tidur.” .
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar